“Sifat Ananiyah,
Riya’, dan Deskriminasi”
Oleh:
Riyadlatin Nufus
Shofi Khoirum Muzamil
Ziana Maulidya Khusnia
Zuhriya Firda
Zunairoh Nidaan Khofiya
Sifat Ananiyah atau Egoistis
Ananiyah berasal dari
kata ana artinya ‘aku’, Ananiyah berarti ‘keakuan’. Sifat ananiyah ini biasa
disebut egoistis yaitu sikap hidup yang terlalu mementingkan diri sendiri
bahkan jika perlu dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Sikap ini adalah
sikap hidup yang tercela, karena cenderung berbuat yang dapat merusak tatanan
pergaulan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari penyakit mental
ini dapat diketahui dari sikapnya yang selalu mementingkan dan mengutamakan
kepentingan dirinya diatas segala-galanya, tanpa mengindahkan kepentingan orang
lain.
Apakah demi kepentingan
dirinya akan mengorbankan orang lain. Hal ini tidak akan menjadi
pertimbangannya.
Dampak
Negatif Dari Sifat Ananiyah
Sifat Ananiyah akan
melahirkan sifat Egosentris, artinya mengutamakan kepen-tingan dirinya diatas
kepentingan segala-galanya. Mereka melihat hanya dengan sebelah mata bersikap
dan mengambil tindakan hanya didorong oleh kehendak nafsu. Nafsulah yang
menjadi kendali dan mendominasi seluruh tindaknnya. Standar kebenaranpun
ditentukan oleh kepentingan dirinya. Hal semacam ini di larang.
Allah berfirman :
“Sekiranya
kebenaran itu harus mengikuti kemauan hawa nafsu mereka saja tentulah akan
binasa langit dan bumi dan mereka yang ada di dalamnya”. (Q.S. Al-Muminun ayat
: 71)
Dari sifat ananiyah yang
hanya memperturutkan hawa nafsunya sendiri akan lahir sifat-sifat lain yang
berdampak negatif dan merusak, misalnya, sifat bakhil, tamak, mau menang
sendiri, dhalim, meremehkan orang lain dan ifsad (meru-sak). Jika tidak segera
ditanggulangi sifat ananiyah akan berkembang menjadi sifat congkak dan kibir
dengan ciri khasnya Bathrul Haq menolak kebenaran, Ghomtun Nas dan meremehkan
manusia. (H.R. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud)
Jika sifat ini menjangkiti
orang-orang yang memiliki wewenang dan potensi besar bahayanya akan berdampak
luas. Peng-usaha dengan sifat ananiyah akan meng-gunakan kekayaannya untuk
memonopoli ekonomi dengan tidak segan-segan meng-gilas pengusaha kecil dan
menyingkirkan pengusaha-pengusaha yang dianggap saingannya, mengeruk keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan cara dhalim dan dengan menghalalkan segala cara.
Bila penyakit ananiyah
menjangkiti seorang pengusaha akan cenderung bersifat diktator, tiranis, dan
absolut. Seperti halnya Fir’aun, Namrud yang memerintah dengan semena-mena.
Dalam kehidupan sehari-hari bila penyakit mental ini melekat pada diri
seseorang akan cenderung mental ini melekat pada diri seseorang akan cenderung
sulit diatur dan merusak pergaulan dengan kedha-liman, setidak-tidaknya sering
menim-bulkan masalah. Sementara mereka menganggap benar apa yang mereka
lakukan.
Firman Allah :
“Dan
bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”.
Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”.
(QS. Al-Baqoroh : 11)
Rasulullah bersabda :
“Dari
Abdulloh ibnu Umar r.a., Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam: “Aniaya itu menjadi
kegelapan di hari kiamat”. (HR. Bukhori di dalam kitab shahihnya).
Dari Abi Hurairoh r.a.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang merusak nama
baik atau harta benda orang lain maka minta maaflah kepadanya sekarang ini,
sebelum datang di mana mata uang tidak laku lagi. Kalau ia mempunyai kebajikan,
sebagian amal baiknya itu akan diambil sesuai dengan kadar perbuatan aniayanya.
Kalau ia tidak mempunyai amal baik, maka dosa orang lain itu diambil dan
ditambahkan pada dosanya”. (HR. Bukhori dalam kitab shahihnya)
Sifat ananiyah juga
sering menimbulkan sikap permusuhan, padahal sikpa per-musuhan itu sangat
dibenci Allah. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
“Dari Aisyah r.a.
dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, Beliau bersabda: “Orang yang paling
dibenci Allah ialah orang yang paling suka bermusuhan”. (HR. Bukhori)
Lawan
Dari Sifat Ananiyah
Lawan dari sifat
ananiyah adalah itsyariyah yaitu rasa kebersamaan, kepekaan sosial dalam
pergaulan sehingga mereka mendahulukan kepentingan ummat atau masyarakat
walaupun terkadang memer-lukan pengorbanan dari dirinya. Jelas ini sifat mulia
dan terpuji.
Sikap dan sifat ini bisa
kita jumpai pada orang-orang yang akidahnya baik seperti sikap orang-orang
anshor terhadap orang-orang Muhajirin yang baru saja hijrah dari Makkah ke
Madinah. Allah mengabadi-kannya dalam firman-Nya:
“Dan
orang-orang yang telah menempati kota (Madinah) dan telah beriman (kaum Anshor)
sebelum kedatangan kaum Muhajirin, mereka mencintai orang-orang yang berhijrah.
Dan mereka telah menaruh keinginan dalam hati terhadap apa yang telah diberikan
kepada kaum Muhajirin, walaupun mereka dalam kesusahan, dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr :
9).
Demikianlah Rasulullah
Shallalla-hu’alaihi wa sallam sejak awal tumbuhnya Islam telah meletakkan
dasar-dasar kepe-kaan sosial, kebersamaan dan persaudaraan yang hakiki.
Persaudaraan dan rasa keber-samaan yang bukan karena keuntungan materi dan
fanatisme kesukuan atau ashobi-yah yang biasanya ditandai persamaan ras, warna
kulit atau bahasa. Tetapi oleh rasa ukhuwwah islamiyah, sikap jiwa yang tumbuh
dari kesadaran iman bahwa manusia itu ummat yang satu, yang tidak bisa hidup
sendiri, dan terikat pada ketergantungan hidup satu sama lain. Kita lihat
bagaimana rasa kebersamaan dan keikhlasan kaum Anshor merelakan separoh
hartanya, separoh dari milinya diberikan pada saudaranya kaum Muhajir, saudara
seiman seakidah.
Lebih jauh dari sekadar
arti persaudaraan yang dapat mengikat antar pribadi sahabat Rasulullah, tetapi
rasa kebersamaan itu menjadi tonggak dan pilar kokoh yang mampu mendukung
perjuangan menghadapi tantangan-tantangan dan mampu mengenyahkan kesombongan,
kedzaliman dan ke-musyrikan yang telah bercokol bertahun-tahun di negri yang
tandus itu.
Begitu pentingnya rasa
kebersamaan ini sehingga Allah menetapkan sebagai :
1. Standar nilai;
Sebagaimana firman-Nya :
Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Alah dan tali perjanjian dengan manusia” (Ali
Imran : 112).
2. Pengikat Hati
“Dan
berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali (agama) Allah seraya berjamaah,
dan janganlah kamu berfirqoh-firqoh. Dan ingatlah akan nimat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa Jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan
antara hatimu. Lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang yang
bersaudara dan kamu telah berada di tepi jurang api neraka. Kemudian Allah
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya
kepada mu agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali-Imran : 103)
Ayat ini menjelaskan
bahwa; Berpegang teguh dengan tali Allah artinya mengamalkan syareat Islam atau
kitabullah yaitu Al-Qur’an dengan konsekuen.
Jamii’an ialah merupakan
keterangan bagaimana caranya orang berpegang teguh dengan tali Allah yaitu
dengan cara berjama’ah (bersama-sama) dan dilarang berfirqoh-firqoh. Hidup
berjama’ah adalah nikmat Allah dimana hati yang dulunya bermusuhan dapat diikat
denganikatan ukhuwwah Islamiyah (penuh persaudaraan dan rasa kebersamaan). Rasa
kebersamaan dan persaudaraan Islam yang diterapkan dlam kehidupan Al-Jama’ah
penangkal dan obat sekaligus jalan keluar dari ikhtilaf dan sikap bermusuhan
yang dapat menyelamatkan seseorang dari jurang neraka.
Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam telah bersabda :
“Berjama’ah itu
rahmat dan berfirqoh firqoh itu adzab” (HR. Ahmad).
“Barang
siapa ingin berada di tengah syurga maka tetapilah Al-Jamaah” (HR. Tirmidzi).
Kemudian tegas-tegas
Allah melarang firqoh;
“Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berfirqoh-firqoh. Dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang
yang mendapat siksa yang berat”. (QS. Ali Imran : 105)
Mencintai
sesama
“Dan
Anas r.a. Dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda. “Demi Dzat yang
diriku ditangan-Nya tidak dinamakan beriman sehingga ia mencintai sesama
jirannya seperti apa yang ia menyukai untuk dirinya sendiri” (HR.
Muttafaq’Alaih)
Dan dalam hadist yang
lain :
“Dari
Abdullah bin Salam ia berkata : “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa sallam: “Hai Manusia syiarkanlah salam (kesejahteraan dan kedamaian) dan
hubungilah keluarga-keluarga dan berilah makan (orang miskin) dan sholatlah
malamketika manusia sedang tidur. Niscaya kamu masuk surga dengan sejahtera”.
(Hadis dikeluarkan oleh Tirmidzi dan ia menshohehkannya).
· Ufsyus salam,
yang artinya tebarkan salam adalah dimaksudkan agar manusia dapat menciptkan
suasana sejahtera, aman, selamat dan damai pada dirinya sendiri, lingkungan dan
kepada manusia pada umumnya. Kita bisa melihat akibat positif perbuatan orang
yang hatinya damai dan sejahtera, apa yang keluar dari hatinya, apa yang
dikatakannya dan apa yang menjadi keputusan dan prilakunya akan memberi suasana
penuh kedamaian, aman dan sejahtera dalam kehidupan ini.
· Washillul Arham,
menghubungkan kasih sayang kepada sesama dan memberi makan kepada fakir miskin
kemudian disempurnakan dengan sholat di waktu mkam dikala manusia sedang tidur.
Adalah aqidah dan karakter setiap muslim yang memupuk tumbuh suburnya sifat
Itsariyah dan kepedulian sosial, solidaritas ukhuwwah islamiyah dan lingkungan
sekaligus sama sekali tidak memberikan peluang tumbuhnya sifat Ananiyah, angkuh
dan sombong.
Cara
Menekan Sikap Ananiyah
Untuk menekan sikap
ananiyah dapat kita lakukan dengan cara menghidupkan dan mengembangkan sikap
itsariyah yaitu dengan :
1. Menyadarkan diri
bahwa manusia itu diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama. Kesadaran ini
akan melahirkan sikap menghargai orang lain. Menghargai orang lain artinya
mengenal, memahami sekaligus mencintai sesama.
2. Membiasakan diri
untuk bershodaqoh dan beramal untuk orang lain.
3. Menyadari bahwa
manusia hidup membutuhkan orang lain. Dia harus merelakan dirinya karena
dirinya merupakan bagian dari satu sistem kehidupan yang saling membutuhkan.
4. Menekan hawa nafsu
dan memupuk sikap tenggang rasa dan belas kasihan.
5. Menyadari bahwa hidup
adalah pengabdian, setiap pengabdian diperlukan perjuangan dan setiap
perjuangan memerlukan pengorbanan dan teman.
6. Menyadari bahwa sikap
ananiyah bila dibiarkan akan mengarah pada sikap congkak dan takabur yang
membinasakan dan dibenci oleh Allah.
7. Menanamkan dan
membiasakan diri dengan sikap tawadhu, syukur, ikhlas dan tasamuh karena
sifat-sifat tersebut akan mengikis habis sifat-sifat ananiyah.
8. Menghayati dan
mendalami setiap butiran perintah ibadah secara universal, seperti ibadah
sholat, shoum, zakat dll.
RIYA’
Tanbihun – Secara bahasa, Riya’ adalah
memperlihatkan suatu amal kebaikan kepada sesama manusia, adapun secara istilah
yaitu: melakukan ibadah dengan niat dalam hati karena demi manusia, dunia yang
dikehendaki dan tidak berniat beribadah kepada Allah SWT.
Al-Hafidz
Ibnu Hajar al-Asqolani
dalam kitabnya Fathul Baari berkata: “Riya’ ialah menampakkan
ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amalan itu”. Imam
Al-Ghazali, riya’ adalah mencari kedudukan pada hati manusia dengan
memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Sementara Imam Habib
Abdullah Haddad pula berpendapat bahwa riya’ adalah menuntut kedudukan
atau meminta dihormati daripada orang ramai dengan amalan yang ditujukan untuk
akhirat.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa riya’ adalah melakukan amal kebaikan
bukan karena niat ibadah kepada Allah, melainkan demi manusia dengan cara
memperlihatkan amal kebaikannya kepada orang lain supaya mendapat pujian atau
penghargaan, dengan harapan agar orang lain memberikan penghormatan padanya.
Sebagaimana ulama mengatakan:
وَالرِّيَاءُ إِيْقَاعُ الْقُرْبَةِ
لِقَصْدِ النَّاسِ
“Riya’
adalah melakukan ibadah karena mengharap arah kepada manusia supaya mendapat
keuntungan darinya (pujian dan penghormatan)”.
Oleh itu, Syeikh Ahmad Rifa’i berpesan bahwa riya’ merupakan perbuatan haram
dan satu diantara dosa besar yang harus dijauhi serta di tinggalkan supaya
selamat dan amalnya manfaat sampai di negeri akhirat.
Macam-macam
Riya’
Lebih lanjut,
beliau menjelaskan bahwa riya’ ada 2 macam, sebagaimana ulama menguraikannya:
وَهُوَ قِسْمَانِ : رِيَاءٌ خَالِصٌ كَانَ لاَ يَفْعَلَ
الْقُرْبَةَ إِلاَّ لِلنَّاسِ ,
وَرِيَاءٌ شِرْكٌ
كَانَ يَفْعَلَهَا ِللهِ وَلِلنَّاسِ وَهُوَ أَخَفُّ مِنَ الْأَوَّلِ
“ riya’
dibagi kedalam dua tingkatan: riya’ kholish yaitu
melakukan ibadah semata-mata hanya untuk mendapatkan pujian dari manusia, riya’
syirik yaitu melakukan perbuatan karena niat menjalankan perintah
Allah, dan juga karena untuk mendapatkan pujian dari manusia, dan keduanya
bercampur”.
Fudhail
Bin Iyadh berkata:“Beramal
karena manusia adalah syirik, meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’
dan ikhlas adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya”.
Oleh itu,
sifat riya’ sekiranya sudah menjalar masuk ke dalam aktivitas harian dan
mendarah daging dalam tubuh kita amat susah untuk menghilangkannya, karena
mereka menganggap sifat riya’ merupakan satu sikap berbuat baik kepada orang
lain, dengan dalih bahwa apa yang mereka kerjakan dalam pandangannya adalah perbuatan
yang terpuji, hal ini sesuai dengan isyarat Qur’an dalam surah Al-baqarah
ayat 11-12:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي
الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ
الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
“Dan apabila
dikatakan kepada mereka:“Janganlah kamu membuat bencana dan kerusakan di muka
bumi”, mereka menjawab: ”Sesungguhnya kami orang-orang yang hanya membuat
kebaikan”. Ketahuilah! Bahwa sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang
sebenar-benarnya membuat bencana dan kerusakan, tetapi mereka tidak
menyadarinya.
Diantara
kelembutan riya’ adalah menjadikan ikhlas sebagai wasilah untuk
mendapatkan apa yang menjadi keinginannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
mengatakan, “Dihikayatkan dari Abu Hamid Al-Ghazali bahwasanya telah sampai
kepadanya kabar, barangsiapa yang ikhlas kepada Alloh selama 40 hari, niscaya
akan terpancar hikmah dari hatinya melalui lisannya. Ia berkata: “Aku telah
berbuat ikhlas selama 40 hari, namun tidak juga terpancar hikmah sedikitpun”.
Kemudian aku ceritakan hal itu kepada orang-orang yang arif, mereka mengatakan
kepadaku: Karena kamu berbuat ikhlas untuk mendapatkan hikmah, bukan ikhlas
karena Allah!”. Yang demikian itu dikarenakan tujuan manusia berbuat ikhlas
untuk mendapatkan kelembutan dan hikmah, atau untuk mendapatkan pengagungan dan
pujian manusia.
Maka hal ini
sesuai dengan perkataan ulama ahli sufi, bahwa kita kadang tidak bisa
membedakan antara riya’ jali (terang) dan khafi (samar),
kecuali orang-orang yang benar-benar selalu mensucikan dalam hatinya hanyalah
beribadah kepada Allah semata. Karena dengan kedekatan pada-Nya, dalam hatinya
sudah dibersihkan daripada penyakit-penyakit yang buruk (madzmumah):
وَلَا يَسْلِمُ مِنَ الرِّيَاءِ
الْجَلِيِّ وَالْخَفِيِّ إِلَّا الْعَارِفُوْنَ الْمُوَحِّدُوْنَ لِأَنَّ اللهَ
طَهَّرَهُمْ مِّنْ دَقَائِقِ الشِّرْكِ
Allah
berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 110:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ
يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Katakanlah:
Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu yang diwahyukan kepadaku, bahwa
sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa, Barangsiapa yang mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan
janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.
Ayat diatas
menerangkan kepada kita, sekiranya beramal tapi masih mengharapkan pujian
daripada selain Allah, maka sifat riya’ sudah masuk dalam diri kita, dan itu
sangat berbahaya karena kita beramal untuk menuai hasilnya nanti di akhirat.
Allah SWT
berfirman dalam surat Asy-Syuura ayat 20:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآَخِرَةِ
نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ
وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا
نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
“Barang
siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu
baginya, dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan
kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu
bahagianpun di akhirat”.
Apapun jenis
ibadah yang kita lakukan, hendaklah dengan satu tujuan menghadap kepada sang Ilaah,
seperti sholat yang kita kerjakan setiap hari lakukanlah hanya untuk Allah,
baik ketika sholat sendiri atau pun ada orang di sekitarnya, beribadahlah hanya
untuk Allah yang Maha Mulia. Allah berfirman dalam surat al-Maa’uun ayat 4-7:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ , الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
, الَّذِينَ هُمْ
يُرَاءُونَ , وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
“Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat,
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya,
dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.
Al
Qurthubi mengatakan makna
dari “orang-orang yang berbuat riya,” adalah orang yang (dengan sholatnya)
memperlihatkan kepada manusia bahwa dia melakukan sholat dengan penuh ketaatan,
dia sholat dengan penuh ketakwaan seperti seorang yang fasiq melihat bahwa
sholatnya sebagai suatu ibadah atau dia sholat agar dikatakan bahwa ia seorang
yang (melakukan) sholat. Hakikat riya’adalah menginginkan apa yang ada di dunia
dengan (memperlihatkan) ibadahnya. Pada asalnya riya adalah menginginkan
kedudukan di hati manusia.
Ini termasuk
syirik yang tersembunyi. Nabi SAW bersabda :“Wahai sekalian manusia, jauhilah
kesyirikan yang tersembunyi!” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu
syirik yang tersembunyi?” Beliau menjawab, “Seseorang bangkit melakukan sholat
kemudian dia bersungguh-sungguh memperindah sholatnya karena dilihat manusia.
Itulah yang disebut dengan syirik yang tersembunyi.” [HR. Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi]
Itulah yang disebut dengan syirik yang tersembunyi.” [HR. Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi]
Nabi
Muhammad SAW bersabda: “Siapa orang yang berpuasa hanya ingin di lihat orang
maka itu adalah riya’, siapa orang yang sholat hanya ingin di lihat orang maka
itu adalah riya’, dan barangsiapa yang bersedekah hanya ingin di lihat orang
maka itu adalah riya’.(HR. Ahmad).
Riya’ bisa muncul didalam diri seseorang pada saat setelah
atau sebelum suatu ibadah selesai dilakukan. Imam
Ghazali mengatakan bahwa apabila didalam diri seseorang yang selesai
melakukan suatu ibadah muncul kebahagiaan tanpa berkeinginan memperlihatkannya
kepada orang lain, maka hal ini tidaklah merusak amalnya karena ibadah yang
dilakukan tersebut telah selesai, dan keikhlasan terhadap ibadah itu pun sudah
selesai serta tidaklah ia menjadi rusak dengan sesuatu yang terjadi setelahnya
apalagi apabila ia tidak bersusah payah untuk memperlihatkannya atau
membicarakannya. Namun, apabila orang itu membicarakannya setelah amal itu
dilakukan dan memperlihatkannya maka hal ini ‘berbahaya’
Imam
al-Ghazali menerangkan
bahwa sesiapa yang tidak membuang sifat riya’ ini, niscaya akan
ditimpa kecelakaan serta akan tergolong dalam golongan kufur. Jika hal ini
berlaku, maka tentulah dia tidak lagi layak memasuki syurga, apatah lagi
mencium baunya. Rasulullah SAW menasihatkan umatnya agar tidak sesekali
menyebut kebaikan diri dan keluarga karena sikap demikian akan mendorong
seseorang kepada sifat riya’. Justeru, keikhlasan saja yang dapat membunuh
perasaan riya’ sebagaimana firman Allah:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”.
Dalam ayat
yang lain:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ , أَلَا للهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Sesungguhnya
Kami menurunkan kepadamu kitab (al-Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya
kepunyaan Allah agama yang bersih (dari syirik).”
Ibnu
Qudamah
mengatakan,”Apabila sifat riya’ muncul sebelum selesai suatu ibadah
dikerjakan, seperti sholat yang dilakukan dengan ikhlas dan apabila hanya sebatas
kegembiraan maka hal itu tidaklah berpengaruh terhadap amal tersebut namun
apabila sifat riya’ sebagai faktor pendorong amal itu seperti seorang
yang memanjangkan sholat agar kualitasnya dilihat oleh orang lain maka hal ini
dapat menghapuskan pahala.
Adapun
apabila riya’ menyertai suatu ibadah, seperti seorang yang memulai
sholatnya dengan tujuan riya’ dan hal itu terjadi hingga selesai
sholatnya maka sholatnya tidaklah dianggap. Dan apabila ia menyesali
perbuatannya yang terjadi didalam sholatnya itu maka seyogyanya dia memulainya
lagi.
Dalam surah
al-baqarah ayat 264 Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ
رِئَاءَ النَّاسِ
“Wahai
orang-orang yang beriman, Jangan rusakkan (pahala amal) sedekah kamu dengan
perkataan membangkit-bangkit dan (kelakuan yang) menyakiti, seperti (rusaknya
pahala amal sedekah) orang yang membelanjakan hartanya karena hendak
menunjuk-nunjuk kepada manusia (riya’)…”.
Secara mudah
kita simpulkan bahwa riya’ adalah perbuatan yang semata-mata untuk
mengharapkan sanjungan, pujian atau penghormatan daripada orang lain. Hal ini
amat bertentangan dengan kehendak Islam yang senantiasa menyeru umatnya agar
beramal atau melakukan perkara kebaikan dengan hati penuh keikhlasan dan
mengharapkan keridhaan Allah. Sekiranya penyakit ini dibiarkan terus bersarang
dalam hati seseorang, lama kelamaan ia boleh membinasakan orang yang
mengamalkannya. Kemurnian akidah, keluhuran akhlak dan kesempurnaan amal umat Islam
akan tercemar dan rusak jika tidak dilandasi keimanan dan keikhlasan hati serta
mengharapkan keridhaan Allah. Justru, dalam Islam setiap amal kebajikan yang
disertai dengan riya’ adalah tergolong dalam perbuatan syirik kecil
yang boleh merusakkan amal kebajikan, melunturkan kemurnian akhlak dan akan
mendapat kerugian hidup di dunia dan akhirat.
Memang ada
di kalangan umat Islam yang melakukan sesuatu amalan kebajikan atau mengerjakan
ibadah hanya untuk mengaburi mata orang banyak, Mereka melakukan amalan
kebajikan atau ibadah untuk menunjukkan yang kononnya mereka baik, pemurah, wara’
atau rajin beribadah. Mereka lakukan karena didorong hawa nafsu yang selalu
berusaha memalingkan mereka yang lemah imannya. Hal ini diperingatkan Allah
dalam firman-Nya:
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ
عَنْ سَبِيلِ اللهِ
“Dan
janganlah kamu turuti hawa nafsu, nanti ia menyesatkan kamu daripada (agama)
Allah”.
Dalam surah
Muhammad ayat 16, Allah berfirman:
أُولَئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللهُ عَلَى
قُلُوبِهِمْ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ
“Mereka
itu telah dicap (ditutup) Allah mata hatinya dan mereka mengikut hawa
nafsunya”.
Adalah
sangat jelas umat Islam yang melakukan perbuatan riya’ akan mendapat
balasan buruk dari Allah. Sementara Rasul sendiri selalu mengingatkan umatnya
supaya menjauhi diri daripada perbuatan riya’ dalam beberapa hadisnya.
Seperti: Rasul SAW bersabda: Awaslah kamu jangan mencampuradukkan antara taat
pada Allah dengan keinginan dipuji orang (riya’), niscaya gugur
amalanmu. (HR. Ad-Dailami).
Dalam hadis
lain Rasulullah bersabda: Sesuatu yang paling aku khawatirkan terhadapmu ialah syirik
kecil, lalu ditanya oleh sahabat, apakah syirik kecil itu ya
Rasulullah? Kemudian baginda bersabda: itulah riya’. (HR. Ahmad
dan Baihaqi).
Untuk
menjauhkan diri atau membersihkan hati daripada perbuatan riya’, umat
Islam hendaklah mengamalkan sifat muraqabah. Muraqabah dapat
memperlihatkan dan menghayati kepentingan dan hak Allah dengan memperhitungkan
diri sendiri, berapa banyak kebaikan dan dosa yang telah dilakukan sebagai
perbandingan supaya terus berhati-hati dalam setiap perbuatan dan apa jua
tindakan yang akan dilakukan.
Bertaubat adalah jalan terbaik bagi mereka yang melakukan dosa atau yang terlanjur perbuatannya. Taubat dan istighfar amat dituntut ke atas setiap orang yang beriman. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 135:
Bertaubat adalah jalan terbaik bagi mereka yang melakukan dosa atau yang terlanjur perbuatannya. Taubat dan istighfar amat dituntut ke atas setiap orang yang beriman. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 135:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً
أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
وَمَنْ يَغْفِرُ
الذُّنُوبَ إِلَّا اللهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan
orang-orang yang melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka
segera ingat kepada Allah lalu memohon ampunan atas dosa mereka. Dan tiada
siapa yang mengampuni dosa melainkan Allah dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya sedang mereka mengetahui”.
Dalam surah
lain Allah berfirman
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ
وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
”Sesungguhnya
Allah mengasihi orang-orang yang banyak bertaubat dan mengasihi orang-orang
yang senantiasa mensucikan diri”.
Diskriminasi
Diskriminasi artinya
memandang sesuatu tidak secara adil dan memperlakukannya pula secara pilih
kasih.Agar kita terhindar dari perbuatan diskriminasi ini
perlu sekali memahami tentang hak-hak dan kewajiban seseorang. Jika kita mau melakukan
diskriminasi, maka perhatikan dulu apakah dia memang berhak atau tidak, jika
memang berhak, maka kita harus mengurungkan diri untuk berbuat diskriminasi.
Contoh Diskriminasi:
Raisisme
Rasisme adalah salah
satu penyakit yang parah masyarakat manusia di usia ini. Semua orang ingat
bagaimana kulit hitam Afrika diangkut menyeberangi lautan, dikemas dalam kapal
yang dirancang khusus, memikirkan dan diperlakukan seperti ternak. Mereka
dibuat budak, dipaksa untuk mengubah nama mereka dan agama dan bahasa, tidak
berhak untuk berharap kebebasan sejati, dan menolak setidaknya hak asasi
manusia. Karena di antara beberapa orang Barat sikap non-Barat yang
sayangnya berubah sedikit di zaman modern, kondisi politik dan sosial orang
kulit hitam sering tetap, bahkan di mana mereka tinggal di tengah-tengah asli
Barat secara teoritis sama sesama warga negara, yaitu bawahan dibenci.
Diskriminasi merujuk kepada
pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang
diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang
biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan
manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar