Laman

Senin, 25 Juni 2012

Sejarah Lisan

Tradisi lisan, budaya lisan dan adat lisan adalah pesan atau kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pesan atau kesaksian itu disampaikan melalui ucapan, pidato, nyanyian, dan dapat berbentuk pantun, cerita rakyat, nasihat, balada, atau lagu. 




Anggapan bahwa dongeng adalah sekadar pengantar tidur, adalah salah kaprah yang harus diluruskan. Dongeng adalah salah satu bentuk tradisi lisan yang merupakan potensi budaya yang selama ini masih terabaikan. Tradisi lisan juga mencakup mencakup sastra lisan, seperti mite, legenda, dongeng, hikayat, mantra, dan puisi. Bahkan juga termasuk sistem kognitif masyarakat, seperti adat istiadat, sejarah, etika, obat-obatan, sistem geneologi, dan sistem pengetahuan yang dituturkan secara turun-temurun di nusantara.
Dalam Seminar dan Festival Tradisi Lisan Maritim “Lisan VI” di kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, awal Desember lalu, diyakini bahwa tradisi lisan dapat menjadi kekuatan kultural dan salah satu sumber utama yang penting dalam pembentukan identitas dan membangun peradaban. Seperti kata Mukhlis PaEni, staf ahli Menbudpar yang menyampaikan paparannya sebagai salah satu pembicara kunci, bahwa tradisi lisan merupakan salah satu deposit kekayaan bangsa untuk dapat menjadi unggul dalam ekonomi kreatif. Tetapi realitanya, sampai dimana kita semua telah menghargai tradisi lisan sebagaimana seharusnya? Tradisi lisan nusantara, seperti dongeng, puisi, syair, pantun, dan teater, justru semakin berjarak dengan masyarakat.
Posisi tradisi lisan masih terpinggirkan, potensinya masih terabaikan, dan masih banyak yang menganggap bahwa tradisi lisan hanyalah peninggalan masa lalu yang hanya cukup menjadi kenangan manis belaka. Tradisi lisan seolah-olah tidak relevan lagi dengan kehidupan modern yang semakin melaju sangat cepat selama ini. Kemajuan teknologi ternyata tidak disikapi secara arif sehingga semakin meminggirkan posisi tradisi lisan.
Soal dongeng misalnya. Keluarga manakah yang masih akrab dengan menyampaikan dongeng untuk anak-anak mereka? Banyak orangtua yang menyerahkan sepenuhnya pengasuhan anak-anaknya pada baby sitter. Bahkan, lebih banyak lagi yang tak dapat menghindar dari dominasi siaran televisi dalam kesehariannya. Karena itu, dalam seminar yang diselenggarakan oleh Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) itu sempat muncul gagasan, kalau memang para orangtua tidak lagi sempat mendongeng untuk anak-anaknya, mengapa tidak para baby sitter itu saja yang sebaiknya dilatih mendongeng? Barangkali hal itu menjadi persoalan bagi orang kota. Sebab, kenyataannya, di sebagian masyarakat yang lain, dongeng diyakini memiliki nilai pendidikan, pesan moral, atau norma bermasyarakat yang harus dipatuhi bersama.
Ada banyak cerita atau dongeng di masyarakat yang berisi kearifan lokal. Selain berisi ajaran hubungan manusia dengan manusia, banyak pula yang berisi ajaran hubungan manusia dengan alam atau manusia dengan Tuhan. Muatan kearifan lokal dalam tradisi lisan itulah merupakan pelajaran tersembunyi yang selama ini masih belum banyak dipahami masyarakat luas. Salah satu contohnya, betapa masyarakat desa masih banyak yang “mengkeramatkan” pohon beringin. Bagi orang kota, itu mistik, bahkan dituduh syirik. Tetapi menurut ilmu ekologi, terbukti bahwa pohon beringin mempunyai banyak fungsi. Akar-akarnya mampu menyimpan air, sehingga banyak sumber air yang tumbuh beringin di dekatnya. Sementara di tajuknya yang rimbun sesungguhnya merupakan habitat berbagai fauna yang nyaman.
Kearifan tradisional juga mengajarkan bahwa menjelang panen padi perlu dilakukan ritual dengan cara membakar dupa dan memberikan sesajen di pematang sawah. Ini bukan mistik atau syirik, tetapi asap dupa itu memiliki fungsi untuk mengusir hama padi. Demikian pula aroma yang ditimbulkan oleh berbagai macam kembang itu, juga memiliki fungsi sebagai biopestisida. Sedangkan sesajen berupa berbagai makanan itu memang disediakan untuk tikus dan serangga yang biasa mengganggu petani.
Demikian pula cerita rakyat yang berkembang di masyarakat, sesungguhnya dapat menjadi kekayaan budaya di negeri ini. Cerita rakyat seharusnya bisa dimanfaatkan pada masa kini untuk menggugah kembali nilai-nilai baik yang dibutuhkan dalam kehidupan. Relevansi cerita rakyat sebagai sumber global di tengah pluralisme budaya terletak pada kemampuannya mengkomunikasikan tradisi, pengetahuan, dan adat istiadat etnis tertentu atau menguraikan pandangan-pandangan manusia dalam dimensi perseorangan ataupun dimensi sosial kepada etnik lain.
Cerita rakyat memang banyak mengandung khayalan. Namun menurut Mahyudin Al Mudra, dari Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), justru dalam cerita rakyat khayalan manusia memperoleh kebebasan yang mutlak, karena di situ ditemukan hal-hal yang tidak masuk akal, yang tidak mungkin ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contohnya, cerita tentang bidadari turun dari langit yang selendangnya dicuri oleh seorang perjaka; seekor kancil yang mampu menipu harimau; seorang anak durhaka kepada ibunya yang dikutuk menjadi batu; dan lain sebagainya. Untuk memahami kebudayaan masyarakat pemilik/pendukung cerita, fenomena tersebut tidak kemudian dinilai apakah cerita yang disampaikan nyata atau tidak, tetapi harus dilihat bagaimana mitos itu bekerja dalam masyarakat. Peran penting cerita rakyat terletak pada kemampuannya mengkomunikasikan tradisi, pengetahuan, dan adat-adat istiadat etnis tertentu, atau menguraikan pengalaman-pengalaman manusia baik dalam dimensi perseorangan maupun dimensi sosial, kepada etnik lain.
Semakin banyak membaca cerita rakyat, maka seseorang akan semakin kaya pengetahuan akan kebudayaan yang melampaui batas ruang dan waktu. Produk yang Dinamis Dalam seminar itu juga terungkap perlunya upaya untuk menegosiasikan cerita rakyat sebagai warisan lokal dengan yang global melalui penyesuaian-penyesuaian sehingga tradisi lisan itu menjadi produk budaya yang dinamis. Karena itu, pelestarian dan pemanfaatannya harus dapat dikembalikan bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
Lantaran hajatan ini diselenggarakan di pulau terpencil, dimana hampir semua wilayahnya berupa lautan, maka tradisi lisan sebagai warisan budaya dapat dijadikan sebagai salah satu pintu masuk untuk memahami lebih jauh masyarakat dan budaya mereka. Bagi masyarakat Wakatobi yang akrab dengan laut itu, ternyata banyak ditemukan kearifan lokal dalam berbagai tradisi lisan mereka. Dongeng tentang putri Duyung misalnya, menyimpan kearifan lokal bagaimana menjaga kelestarian ikan langka lumba-lumba dan terumbu karang. Ada juga kepercayaan bahwa diantara mereka adalah saudara kembar ikan-ikan tertentu di laut. Sehingga mereka tak sembarangan menangkap ikan, dan harus melakukan sesaji, berupa memberikan makanan ke laut. Mereka juga percaya, bahwa jumlah daun-daun di hutan itu sama dengan jumlah ikan di lautan. Maka menjaga laut dan kelestarian hutan, adalah kesatuan yang tak terpisahkan.
Harap maklum, ternyata hampir semua wilayah admisnistratif kabupaten Wakatobi memang sudah menjadi kawasan Taman Laut Nasional yang tentunya dilindungi. Namun demikian, berbagai kendala masih dihadapi dalam pengembangan dan penguatan tradisi lisan. Kendala tersebut antara lain belum siapnya kebijakan dan strategi kebudayaan yang tepat, keterbatasan biaya, waktu yang relatif singkat yang nyaris berlomba dengan kematian, teknologi yang mengasingkan tradisi dari masyarakatnya, serta menurunnya peran masyarakat dan keluarga dalam memelihara dan mempertahankan warisan budaya.
Karena itu, sebagaimana disampaikan ketua ATL Pudentia MPSS, diperlukan upaya untuk mendorong berbagai usaha mempercepat proses penguatan tradisi lisan sebagai identitas budaya dalam membangun peradaban. Bahwa kegiatan penguatan tradisi lisan dalam arti melakukan revitalisasi tradisi lisan sebagai bagian dari bidang seni tidak dapat dilepaskan dari penguatannya sebagai bagian dari penguatan masyarakat pendukungnya. Sebab dinamika tradisi lisan tergantung juga pada dinamika masyarakat pendukungnya, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian usaha yang mengasingkan tradisi lisan dari masyarakat pendukungnya, baik yang diartikan sebagai penutur maupun yang mencakupi penonton dan pihak lain selaku pendukung menjadikan tradisi lisan semakin kehilangan kekuatannya.
Pementasan, pertunjukan, dan perayaan kemasyarakatan menjadi sesuatu yang penting. Reproduksinya, baik dalam hal dokumentasi, pembuatan film, ataupun pembekuan tradisi lisan dalam berbagai cara lain menjadi sarana pembantu untuk menghadirkian dan membangun ingatan akan tradisi yang menjadi khasanah berharga dari suatu komunitas. Pemahaman akan hal tersebut perlu disosialisasikan ke berbagai pihak berkenaan dengan berbagai cara: melalui media massa, jalur pendidikan, dan kontak langsung dengan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar