Laman

Senin, 25 Juni 2012

aqidah akhlak


“Sifat Ananiyah, Riya’, dan Deskriminasi”
Pembimbing: Ust. Ali Zainuri
Oleh:
Riyadlatin Nufus
Shofi Khoirum Muzamil
Ziana Maulidya Khusnia
Zuhriya Firda
Zunairoh Nidaan Khofiya

Sifat Ananiyah atau Egoistis
Ananiyah berasal dari kata ana artinya ‘aku’, Ananiyah berarti ‘keakuan’. Sifat ananiyah ini biasa disebut egoistis yaitu sikap hidup yang terlalu mementingkan diri sendiri bahkan jika perlu dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Sikap ini adalah sikap hidup yang tercela, karena cenderung berbuat yang dapat merusak tatanan pergaulan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari penyakit mental ini dapat diketahui dari sikapnya yang selalu mementingkan dan mengutamakan kepentingan dirinya diatas segala-galanya, tanpa mengindahkan kepentingan orang lain.
Apakah demi kepentingan dirinya akan mengorbankan orang lain. Hal ini tidak akan menjadi pertimbangannya.
Dampak Negatif Dari Sifat Ananiyah
Sifat Ananiyah akan melahirkan sifat Egosentris, artinya mengutamakan kepen-tingan dirinya diatas kepentingan segala-galanya. Mereka melihat hanya dengan sebelah mata bersikap dan mengambil tindakan hanya didorong oleh kehendak nafsu. Nafsulah yang menjadi kendali dan mendominasi seluruh tindaknnya. Standar kebenaranpun ditentukan oleh kepentingan dirinya. Hal semacam ini di larang.
Allah berfirman :
“Sekiranya kebenaran itu harus mengikuti kemauan hawa nafsu mereka saja tentulah akan binasa langit dan bumi dan mereka yang ada di dalamnya”. (Q.S. Al-Muminun ayat : 71)
Dari sifat ananiyah yang hanya memperturutkan hawa nafsunya sendiri akan lahir sifat-sifat lain yang berdampak negatif dan merusak, misalnya, sifat bakhil, tamak, mau menang sendiri, dhalim, meremehkan orang lain dan ifsad (meru-sak). Jika tidak segera ditanggulangi sifat ananiyah akan berkembang menjadi sifat congkak dan kibir dengan ciri khasnya Bathrul Haq menolak kebenaran, Ghomtun Nas dan meremehkan manusia. (H.R. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud)
Jika sifat ini menjangkiti orang-orang yang memiliki wewenang dan potensi besar bahayanya akan berdampak luas. Peng-usaha dengan sifat ananiyah akan meng-gunakan kekayaannya untuk memonopoli ekonomi dengan tidak segan-segan meng-gilas pengusaha kecil dan menyingkirkan pengusaha-pengusaha yang dianggap saingannya, mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara dhalim dan dengan menghalalkan segala cara.
Bila penyakit ananiyah menjangkiti seorang pengusaha akan cenderung bersifat diktator, tiranis, dan absolut. Seperti halnya Fir’aun, Namrud yang memerintah dengan semena-mena. Dalam kehidupan sehari-hari bila penyakit mental ini melekat pada diri seseorang akan cenderung mental ini melekat pada diri seseorang akan cenderung sulit diatur dan merusak pergaulan dengan kedha-liman, setidak-tidaknya sering menim-bulkan masalah. Sementara mereka menganggap benar apa yang mereka lakukan.
Firman Allah :
“Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. (QS. Al-Baqoroh : 11)
Rasulullah bersabda :
“Dari Abdulloh ibnu Umar r.a., Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam: “Aniaya itu menjadi kegelapan di hari kiamat”. (HR. Bukhori di dalam kitab shahihnya).
Dari Abi Hurairoh r.a. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang merusak nama baik atau harta benda orang lain maka minta maaflah kepadanya sekarang ini, sebelum datang di mana mata uang tidak laku lagi. Kalau ia mempunyai kebajikan, sebagian amal baiknya itu akan diambil sesuai dengan kadar perbuatan aniayanya. Kalau ia tidak mempunyai amal baik, maka dosa orang lain itu diambil dan ditambahkan pada dosanya”. (HR. Bukhori dalam kitab shahihnya)
Sifat ananiyah juga sering menimbulkan sikap permusuhan, padahal sikpa per-musuhan itu sangat dibenci Allah. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
Dari Aisyah r.a. dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, Beliau bersabda: “Orang yang paling dibenci Allah ialah orang yang paling suka bermusuhan”. (HR. Bukhori)
Lawan Dari Sifat Ananiyah
Lawan dari sifat ananiyah adalah itsyariyah yaitu rasa kebersamaan, kepekaan sosial dalam pergaulan sehingga mereka mendahulukan kepentingan ummat atau masyarakat walaupun terkadang memer-lukan pengorbanan dari dirinya. Jelas ini sifat mulia dan terpuji.
Sikap dan sifat ini bisa kita jumpai pada orang-orang yang akidahnya baik seperti sikap orang-orang anshor terhadap orang-orang Muhajirin yang baru saja hijrah dari Makkah ke Madinah. Allah mengabadi-kannya dalam firman-Nya:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota (Madinah) dan telah beriman (kaum Anshor) sebelum kedatangan kaum Muhajirin, mereka mencintai orang-orang yang berhijrah. Dan mereka telah menaruh keinginan dalam hati terhadap apa yang telah diberikan kepada kaum Muhajirin, walaupun mereka dalam kesusahan, dan siapa yang dipelihara dari kekikiran itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr : 9).
Demikianlah Rasulullah Shallalla-hu’alaihi wa sallam sejak awal tumbuhnya Islam telah meletakkan dasar-dasar kepe-kaan sosial, kebersamaan dan persaudaraan yang hakiki. Persaudaraan dan rasa keber-samaan yang bukan karena keuntungan materi dan fanatisme kesukuan atau ashobi-yah yang biasanya ditandai persamaan ras, warna kulit atau bahasa. Tetapi oleh rasa ukhuwwah islamiyah, sikap jiwa yang tumbuh dari kesadaran iman bahwa manusia itu ummat yang satu, yang tidak bisa hidup sendiri, dan terikat pada ketergantungan hidup satu sama lain. Kita lihat bagaimana rasa kebersamaan dan keikhlasan kaum Anshor merelakan separoh hartanya, separoh dari milinya diberikan pada saudaranya kaum Muhajir, saudara seiman seakidah.
Lebih jauh dari sekadar arti persaudaraan yang dapat mengikat antar pribadi sahabat Rasulullah, tetapi rasa kebersamaan itu menjadi tonggak dan pilar kokoh yang mampu mendukung perjuangan menghadapi tantangan-tantangan dan mampu mengenyahkan kesombongan, kedzaliman dan ke-musyrikan yang telah bercokol bertahun-tahun di negri yang tandus itu.
Begitu pentingnya rasa kebersamaan ini sehingga Allah menetapkan sebagai :
1. Standar nilai;
Sebagaimana firman-Nya : Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Alah dan tali perjanjian dengan manusia” (Ali Imran : 112).
2. Pengikat Hati
“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali (agama) Allah seraya berjamaah, dan janganlah kamu berfirqoh-firqoh. Dan ingatlah akan nimat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu. Lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara dan kamu telah berada di tepi jurang api neraka. Kemudian Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepada mu agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali-Imran : 103)
Ayat ini menjelaskan bahwa; Berpegang teguh dengan tali Allah artinya mengamalkan syareat Islam atau kitabullah yaitu Al-Qur’an dengan konsekuen.
Jamii’an ialah merupakan keterangan bagaimana caranya orang berpegang teguh dengan tali Allah yaitu dengan cara berjama’ah (bersama-sama) dan dilarang berfirqoh-firqoh. Hidup berjama’ah adalah nikmat Allah dimana hati yang dulunya bermusuhan dapat diikat denganikatan ukhuwwah Islamiyah (penuh persaudaraan dan rasa kebersamaan). Rasa kebersamaan dan persaudaraan Islam yang diterapkan dlam kehidupan Al-Jama’ah penangkal dan obat sekaligus jalan keluar dari ikhtilaf dan sikap bermusuhan yang dapat menyelamatkan seseorang dari jurang neraka.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam telah bersabda :
Berjama’ah itu rahmat dan berfirqoh firqoh itu adzab” (HR. Ahmad).
“Barang siapa ingin berada di tengah syurga maka tetapilah Al-Jamaah” (HR. Tirmidzi).
Kemudian tegas-tegas Allah melarang firqoh;
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berfirqoh-firqoh. Dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”. (QS. Ali Imran : 105)
Mencintai sesama
“Dan Anas r.a. Dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda. “Demi Dzat yang diriku ditangan-Nya tidak dinamakan beriman sehingga ia mencintai sesama jirannya seperti apa yang ia menyukai untuk dirinya sendiri” (HR. Muttafaq’Alaih)
Dan dalam hadist yang lain :
“Dari Abdullah bin Salam ia berkata : “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam: “Hai Manusia syiarkanlah salam (kesejahteraan dan kedamaian) dan hubungilah keluarga-keluarga dan berilah makan (orang miskin) dan sholatlah malamketika manusia sedang tidur. Niscaya kamu masuk surga dengan sejahtera”. (Hadis dikeluarkan oleh Tirmidzi dan ia menshohehkannya).
·  Ufsyus salam, yang artinya tebarkan salam adalah dimaksudkan agar manusia dapat menciptkan suasana sejahtera, aman, selamat dan damai pada dirinya sendiri, lingkungan dan kepada manusia pada umumnya. Kita bisa melihat akibat positif perbuatan orang yang hatinya damai dan sejahtera, apa yang keluar dari hatinya, apa yang dikatakannya dan apa yang menjadi keputusan dan prilakunya akan memberi suasana penuh kedamaian, aman dan sejahtera dalam kehidupan ini.
·  Washillul Arham, menghubungkan kasih sayang kepada sesama dan memberi makan kepada fakir miskin kemudian disempurnakan dengan sholat di waktu mkam dikala manusia sedang tidur. Adalah aqidah dan karakter setiap muslim yang memupuk tumbuh suburnya sifat Itsariyah dan kepedulian sosial, solidaritas ukhuwwah islamiyah dan lingkungan sekaligus sama sekali tidak memberikan peluang tumbuhnya sifat Ananiyah, angkuh dan sombong.
Cara Menekan Sikap Ananiyah
Untuk menekan sikap ananiyah dapat kita lakukan dengan cara menghidupkan dan mengembangkan sikap itsariyah yaitu dengan :
1. Menyadarkan diri bahwa manusia itu diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama. Kesadaran ini akan melahirkan sikap menghargai orang lain. Menghargai orang lain artinya mengenal, memahami sekaligus mencintai sesama.
2. Membiasakan diri untuk bershodaqoh dan beramal untuk orang lain.
3. Menyadari bahwa manusia hidup membutuhkan orang lain. Dia harus merelakan dirinya karena dirinya merupakan bagian dari satu sistem kehidupan yang saling membutuhkan.
4. Menekan hawa nafsu dan memupuk sikap tenggang rasa dan belas kasihan.
5. Menyadari bahwa hidup adalah pengabdian, setiap pengabdian diperlukan perjuangan dan setiap perjuangan memerlukan pengorbanan dan teman.
6. Menyadari bahwa sikap ananiyah bila dibiarkan akan mengarah pada sikap congkak dan takabur yang membinasakan dan dibenci oleh Allah.
7. Menanamkan dan membiasakan diri dengan sikap tawadhu, syukur, ikhlas dan tasamuh karena sifat-sifat tersebut akan mengikis habis sifat-sifat ananiyah.
8. Menghayati dan mendalami setiap butiran perintah ibadah secara universal, seperti ibadah sholat, shoum, zakat dll.
RIYA’
Tanbihun – Secara bahasa, Riya’ adalah memperlihatkan suatu amal kebaikan kepada sesama manusia, adapun secara istilah yaitu: melakukan ibadah dengan niat dalam hati karena demi manusia, dunia yang dikehendaki dan tidak berniat beribadah kepada Allah SWT.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Baari berkata: “Riya’ ialah menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amalan itu”. Imam Al-Ghazali, riya’ adalah mencari kedudukan pada hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Sementara Imam Habib Abdullah Haddad pula berpendapat bahwa riya’ adalah menuntut kedudukan atau meminta dihormati daripada orang ramai dengan amalan yang ditujukan untuk akhirat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa riya’ adalah melakukan amal kebaikan bukan karena niat ibadah kepada Allah, melainkan demi manusia dengan cara memperlihatkan amal kebaikannya kepada orang lain supaya mendapat pujian atau penghargaan, dengan harapan agar orang lain memberikan penghormatan padanya. Sebagaimana ulama mengatakan:

وَالرِّيَاءُ إِيْقَاعُ الْقُرْبَةِ لِقَصْدِ النَّاسِ

Riya’ adalah melakukan ibadah karena mengharap arah kepada manusia supaya mendapat keuntungan darinya (pujian dan penghormatan)”.
Oleh itu, Syeikh Ahmad Rifa’i berpesan bahwa riya’ merupakan perbuatan haram dan satu diantara dosa besar yang harus dijauhi serta di tinggalkan supaya selamat dan amalnya manfaat sampai di negeri akhirat.

Macam-macam Riya’

Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa riya’ ada 2 macam, sebagaimana ulama menguraikannya:

وَهُوَ قِسْمَانِ : رِيَاءٌ خَالِصٌ كَانَ لاَ يَفْعَلَ الْقُرْبَةَ إِلاَّ لِلنَّاسِ ,

 وَرِيَاءٌ شِرْكٌ كَانَ يَفْعَلَهَا ِللهِ وَلِلنَّاسِ وَهُوَ أَخَفُّ مِنَ الْأَوَّلِ

riya’ dibagi kedalam dua tingkatan: riya’ kholish yaitu melakukan ibadah semata-mata hanya untuk mendapatkan pujian dari manusia, riya’ syirik yaitu melakukan perbuatan karena niat menjalankan perintah Allah, dan juga karena untuk mendapatkan pujian dari manusia, dan keduanya bercampur”.
Fudhail Bin Iyadh berkata:“Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’ dan ikhlas adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya”.
Oleh itu, sifat riya’ sekiranya sudah menjalar masuk ke dalam aktivitas harian dan mendarah daging dalam tubuh kita amat susah untuk menghilangkannya, karena mereka menganggap sifat riya’ merupakan satu sikap berbuat baik kepada orang lain, dengan dalih bahwa apa yang mereka kerjakan dalam pandangannya adalah perbuatan yang terpuji,  hal ini sesuai dengan isyarat Qur’an dalam surah Al-baqarah ayat  11-12:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ

 أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka:“Janganlah kamu membuat bencana dan kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: ”Sesungguhnya kami orang-orang yang hanya membuat kebaikan”. Ketahuilah! Bahwa sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang sebenar-benarnya membuat bencana dan kerusakan, tetapi mereka tidak menyadarinya.
Diantara kelembutan riya’ adalah menjadikan ikhlas sebagai wasilah untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dihikayatkan dari Abu Hamid Al-Ghazali bahwasanya telah sampai kepadanya kabar, barangsiapa yang ikhlas kepada Alloh selama 40 hari, niscaya akan terpancar hikmah dari hatinya melalui lisannya. Ia berkata: “Aku telah berbuat ikhlas selama 40 hari, namun tidak juga terpancar hikmah sedikitpun”. Kemudian aku ceritakan hal itu kepada orang-orang yang arif, mereka mengatakan kepadaku: Karena kamu berbuat ikhlas untuk mendapatkan hikmah, bukan ikhlas karena Allah!”. Yang demikian itu dikarenakan tujuan manusia berbuat ikhlas untuk mendapatkan kelembutan dan hikmah, atau untuk mendapatkan pengagungan dan pujian manusia.
Maka hal ini sesuai dengan perkataan ulama ahli sufi, bahwa kita kadang tidak bisa membedakan antara riya’ jali (terang) dan khafi (samar), kecuali orang-orang yang benar-benar selalu mensucikan dalam hatinya hanyalah beribadah kepada Allah semata. Karena dengan kedekatan pada-Nya, dalam hatinya sudah dibersihkan daripada penyakit-penyakit yang buruk (madzmumah):

وَلَا يَسْلِمُ مِنَ الرِّيَاءِ الْجَلِيِّ وَالْخَفِيِّ إِلَّا الْعَارِفُوْنَ الْمُوَحِّدُوْنَ لِأَنَّ اللهَ طَهَّرَهُمْ مِّنْ دَقَائِقِ الشِّرْكِ

Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 110:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ  

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu yang diwahyukan kepadaku, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa, Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.
Ayat diatas menerangkan kepada kita, sekiranya beramal tapi masih mengharapkan pujian daripada selain Allah, maka sifat riya’ sudah masuk dalam diri kita, dan itu sangat berbahaya karena kita beramal untuk menuai hasilnya nanti di akhirat.
Allah SWT berfirman dalam surat Asy-Syuura ayat 20:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآَخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ

وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginya, dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”.
Apapun jenis ibadah yang kita lakukan, hendaklah dengan satu tujuan menghadap kepada sang Ilaah, seperti sholat yang kita kerjakan setiap hari lakukanlah hanya untuk Allah, baik ketika sholat sendiri atau pun ada orang di sekitarnya, beribadahlah hanya untuk Allah yang Maha Mulia. Allah berfirman dalam surat al-Maa’uun ayat 4-7:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ , الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ , الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ , وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.
Al Qurthubi mengatakan makna dari “orang-orang yang berbuat riya,” adalah orang yang (dengan sholatnya) memperlihatkan kepada manusia bahwa dia melakukan sholat dengan penuh ketaatan, dia sholat dengan penuh ketakwaan seperti seorang yang fasiq melihat bahwa sholatnya sebagai suatu ibadah atau dia sholat agar dikatakan bahwa ia seorang yang (melakukan) sholat. Hakikat riya’adalah menginginkan apa yang ada di dunia dengan (memperlihatkan) ibadahnya. Pada asalnya riya adalah menginginkan kedudukan di hati manusia.
Ini termasuk syirik yang tersembunyi. Nabi SAW bersabda :“Wahai sekalian manusia, jauhilah kesyirikan yang tersembunyi!” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu syirik yang tersembunyi?” Beliau menjawab, “Seseorang bangkit melakukan sholat kemudian dia bersungguh-sungguh memperindah sholatnya karena dilihat manusia.
Itulah yang disebut dengan syirik yang tersembunyi.” [HR. Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi]

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Siapa orang yang berpuasa hanya ingin di lihat orang maka itu adalah riya’, siapa orang yang sholat hanya ingin di lihat orang maka itu adalah riya’, dan barangsiapa yang bersedekah hanya ingin di lihat orang maka itu adalah riya’.(HR. Ahmad).
Riya’ bisa muncul didalam diri seseorang pada saat setelah atau sebelum suatu ibadah selesai dilakukan. Imam Ghazali mengatakan bahwa apabila didalam diri seseorang yang selesai melakukan suatu ibadah muncul kebahagiaan tanpa berkeinginan memperlihatkannya kepada orang lain, maka hal ini tidaklah merusak amalnya karena ibadah yang dilakukan tersebut telah selesai, dan keikhlasan terhadap ibadah itu pun sudah selesai serta tidaklah ia menjadi rusak dengan sesuatu yang terjadi setelahnya apalagi apabila ia tidak bersusah payah untuk memperlihatkannya atau membicarakannya. Namun, apabila orang itu membicarakannya setelah amal itu dilakukan dan memperlihatkannya maka hal ini ‘berbahaya’
Imam al-Ghazali menerangkan bahwa sesiapa yang tidak membuang sifat riya’ ini, niscaya akan ditimpa kecelakaan serta akan tergolong dalam golongan kufur. Jika hal ini berlaku, maka tentulah dia tidak lagi layak memasuki syurga, apatah lagi mencium baunya. Rasulullah SAW menasihatkan umatnya agar tidak sesekali menyebut kebaikan diri dan keluarga karena sikap demikian akan mendorong seseorang kepada sifat riya’. Justeru, keikhlasan saja yang dapat membunuh perasaan riya’ sebagaimana firman Allah:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

 “Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”.
Dalam ayat yang lain:

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ , أَلَا للهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (al-Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah agama yang bersih (dari syirik).”
Ibnu Qudamah mengatakan,”Apabila sifat riya’ muncul sebelum selesai suatu ibadah dikerjakan, seperti sholat yang dilakukan dengan ikhlas dan apabila hanya sebatas kegembiraan maka hal itu tidaklah berpengaruh terhadap amal tersebut namun apabila sifat riya’ sebagai faktor pendorong amal itu seperti seorang yang memanjangkan sholat agar kualitasnya dilihat oleh orang lain maka hal ini dapat menghapuskan pahala.
Adapun apabila riya’ menyertai suatu ibadah, seperti seorang yang memulai sholatnya dengan tujuan riya’ dan hal itu terjadi hingga selesai sholatnya maka sholatnya tidaklah dianggap. Dan apabila ia menyesali perbuatannya yang terjadi didalam sholatnya itu maka seyogyanya dia memulainya lagi.
Dalam surah al-baqarah ayat 264 Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ

“Wahai orang-orang yang beriman, Jangan rusakkan (pahala amal) sedekah kamu dengan perkataan membangkit-bangkit dan (kelakuan yang) menyakiti, seperti (rusaknya pahala amal sedekah) orang yang membelanjakan hartanya karena hendak menunjuk-nunjuk kepada manusia (riya’)…”.
Secara mudah kita simpulkan bahwa riya’ adalah perbuatan yang semata-mata untuk mengharapkan sanjungan, pujian atau penghormatan daripada orang lain. Hal ini amat bertentangan dengan kehendak Islam yang senantiasa menyeru umatnya agar beramal atau melakukan perkara kebaikan dengan hati penuh keikhlasan dan mengharapkan keridhaan Allah. Sekiranya penyakit ini dibiarkan terus bersarang dalam hati seseorang, lama kelamaan ia boleh membinasakan orang yang mengamalkannya. Kemurnian akidah, keluhuran akhlak dan kesempurnaan amal umat Islam akan tercemar dan rusak jika tidak dilandasi keimanan dan keikhlasan hati serta mengharapkan keridhaan Allah. Justru, dalam Islam setiap amal kebajikan yang disertai dengan riya’ adalah tergolong dalam perbuatan syirik kecil yang boleh merusakkan amal kebajikan, melunturkan kemurnian akhlak dan akan mendapat kerugian hidup di dunia dan akhirat.
Memang ada di kalangan umat Islam yang melakukan sesuatu amalan kebajikan atau mengerjakan ibadah hanya untuk mengaburi mata orang banyak, Mereka melakukan amalan kebajikan atau ibadah untuk menunjukkan yang kononnya mereka baik, pemurah, wara’ atau rajin beribadah. Mereka lakukan karena didorong hawa nafsu yang selalu berusaha memalingkan mereka yang lemah imannya. Hal ini diperingatkan Allah dalam firman-Nya:

وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

“Dan janganlah kamu turuti hawa nafsu, nanti ia menyesatkan kamu daripada (agama) Allah”.
Dalam surah Muhammad ayat 16, Allah berfirman:

أُولَئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ

 “Mereka itu telah dicap (ditutup) Allah mata hatinya dan mereka mengikut hawa nafsunya”.
Adalah sangat jelas umat Islam yang melakukan perbuatan riya’ akan mendapat balasan buruk dari Allah. Sementara Rasul sendiri selalu mengingatkan umatnya supaya menjauhi diri daripada perbuatan riya’ dalam beberapa hadisnya. Seperti: Rasul SAW bersabda: Awaslah kamu jangan mencampuradukkan antara taat pada Allah dengan keinginan dipuji orang (riya’), niscaya gugur amalanmu. (HR. Ad-Dailami).
Dalam hadis lain Rasulullah bersabda: Sesuatu yang paling aku khawatirkan terhadapmu ialah syirik kecil, lalu ditanya oleh sahabat, apakah syirik kecil itu ya Rasulullah? Kemudian baginda bersabda: itulah riya’. (HR. Ahmad dan Baihaqi).
Untuk menjauhkan diri atau membersihkan hati daripada perbuatan riya’, umat Islam hendaklah mengamalkan sifat muraqabah. Muraqabah dapat memperlihatkan dan menghayati kepentingan dan hak Allah dengan memperhitungkan diri sendiri, berapa banyak kebaikan dan dosa yang telah dilakukan sebagai perbandingan supaya terus berhati-hati dalam setiap perbuatan dan apa jua tindakan yang akan dilakukan.
Bertaubat adalah jalan terbaik bagi mereka yang melakukan dosa atau yang terlanjur perbuatannya. Taubat dan istighfar amat dituntut ke atas setiap orang yang beriman. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 135:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ

 وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan orang-orang yang melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera ingat kepada Allah lalu memohon ampunan atas dosa mereka. Dan tiada siapa yang mengampuni dosa melainkan Allah dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya sedang mereka mengetahui”.
Dalam surah lain Allah berfirman

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

”Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang banyak bertaubat dan mengasihi orang-orang yang senantiasa mensucikan diri”.
 Diskriminasi
Diskriminasi artinya memandang sesuatu tidak secara adil dan memperlakukannya pula secara pilih kasih.Agar kita terhindar dari perbuatan diskriminasi ini perlu sekali memahami tentang hak-hak dan kewajiban seseorang. Jika kita mau melakukan diskriminasi, maka perhatikan dulu apakah dia memang berhak atau tidak, jika memang berhak, maka kita harus mengurungkan diri untuk berbuat diskriminasi.
Contoh Diskriminasi:
Raisisme
Rasisme adalah salah satu penyakit yang parah masyarakat manusia di usia ini. Semua orang ingat bagaimana kulit hitam Afrika diangkut menyeberangi lautan, dikemas dalam kapal yang dirancang khusus, memikirkan dan diperlakukan seperti ternak. Mereka dibuat budak, dipaksa untuk mengubah nama mereka dan agama dan bahasa, tidak berhak untuk berharap kebebasan sejati, dan menolak setidaknya hak asasi manusia. Karena di antara beberapa orang Barat sikap non-Barat yang sayangnya berubah sedikit di zaman modern, kondisi politik dan sosial orang kulit hitam sering tetap, bahkan di mana mereka tinggal di tengah-tengah asli Barat secara teoritis sama sesama warga negara, yaitu bawahan dibenci.

Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar